Minggu, 08 November 2009

perjuangan

Sumpah Pemuda "28 Oktober 1928"

Pada waktu semua orang ikut dalam organisasi pemuda, pemuda Sugondo masuk dalam PPI (Persatuan Pemuda Indonesia - dan tidak masuk dalam Jong Java). Pada tahun 1926 saat Konggres Pemuda I, Sugondo ikut serta dalam kegiatan tersebut. Tahun 1928, ketika akan ada Konggres Pemuda II 1928, maka Sugondo terpilih jadi Ketua atas persetujuan Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua PPI di Negeri Belanda dan Ir. Sukarno (yang pernah serumah di Surabaya) di Bandung. Mengapa Sugondo terpilih menjadi Ketua Konggres, karena beliau adalah anggota PPI (Persatuan Pemuda Indonesia - wadah pemuda independen pada waktu itu dan bukan berdasarkan kesukuan.

Saat itu Mohammad Yamin adalah salah satu kandidat lain menjadi ketua, tetapi dia berasal dari Yong Sumatra (kesukuan), sehingga diangkat menjadi Sekretaris. Perlu diketahui bahwa Moh. Yamin adalah Sekretaris dan juga salah satu peserta yang mahir berbahasa Indonesia (sastrawan), sehingga hal-hal yang perlu diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia yang benar tidak menjadi hambatan (seperti diketahui bahwa notulen rapat ditulis dalam bahasa Belanda yang masih disimpan dalam museum).

Konggres Pemuda 1928 yang berlangsung tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta menghasilkan Sumpah Pemuda 1928 yang terkenal itu, di mana Para Pemuda setuju dengan Trilogi: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia. Selain kesepakatan ini, juga telah disepakati Lagu Kebangsaan: Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman. Dalam kesempatan ini, WR Supratman berbisik meminta ijin kepada Sugondo agar boleh memperdengarkan Lagu Indonesia Raya ciptannya. Karena Konggres dijaga oleh Polisi Hindia Belanda, dan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (misalnya Konggres dibubarkan atau para peserta ditangkap), maka Sugondo secara elegan dan diplomatis dengan bisik-bisik kepada WR Supratman dipersilahkan memperdengarkan lagu INDONESIA RAYA dengan biolanya, sehingga kata-kata Indonesia Raya dan Merdeka tidak jelas diperdengarkan (dengan biola). Hal ini tidak banyak yang tahu mengapa WR Supratman memainkan biola pada waktu itu.

[sunting] Masa Kebangkitan Nasional 1928-1942

Pada masa Kebangkitan Nasional aktif dalam organisasi pemuda dan sebagai guru pada Perguruan Rakyat dan Perguruan Taman Siswa. Sekitar tahun 1935 bekerja pada Kantor Statistik yang beralamat di Jl. Sutomo - Pasar Baru. Pada tahun 1937 sebagai jurnalis ikut mendirikan dan dipercaya memimpin (sebagai Direktur yang pertama, sedangkan Adam Malik menjadi Wakil Direktur/Redaktur) Kantor Berita Antara yang beralamat di Jl. Pos Utara No. 53 - Pasar Baru. Tahun 1934 menikah dengan penulis Suwarsih (Suwarsih Djojopuspito). Kakak iparnya adalah Mr. A.K.Pringgodigdo, suami dari kakak isterinya.

[sunting] Masa Penjajahan Dai Nippon 1943-1945

Bekerja sebagai pegawai Kepenjaraan yang berkantor di Jl. Cilacap Jakarta Pusat.

[sunting] Masa Revolusi Fisik 1945-1950

Pada masa revolusi aktif dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) (beranggotakan 28 orang saja). Pada masa RIS, dalam Negara Republik Indonesia dengan Acting Presiden Mr. Assaat, Sugondo diangkat dalam Kabinet Halim sebagai Menteri Pembangunan Masyarakat.

[sunting] Setelah RIS tahun 1950

Setelah tahun 1950, meskipun usianya masih 46 tahun, memilih pensiun, membaca buku dan sering bertemu dengan rekan seperjuangan dalam dan luar negeri. Pernah Presiden Sukarno (sebagai kawan yang pernah sepondokan) tahun 1952 meminta beliau datang ke Jakarta untuk diberi jabatan penting, tetapi beliau menolak. Kawan dekat beliau adalah Romo Mangun (Y. B. Mangunwijaya) yang sering bertandang, karena bertetangga dekat dengan Seminari Yogyakarta di Kota Baru di mana beliau menghabiskan waktu sehari-harinya di rumahnya yang di Kota Baru juga. Pada tahun 1978 wafat kemudian dimakamkan di Pemakamam Keluarga Besar Tamansiswa Taman Wijayabrata di Celeban, Umbulharjo - Yogyakarta.

Kamis, 04 Juni 2009

MENCARI HIDUP SEHAT DAN TENANG

Mencari Hidup Sehat dan Tenang Yogascitta vrta nirodhah. Yogaanggaanustanaasuddhi Ksaye jnyanadiptiraaviveka. (Yoga Sutra I.1 dan III.28) Maksudnya: Yoga adalah pengendalian gerak pikiran dalam alam pikiran. Dengan melaksanakan berbagai bagian dari ajaran Yoga, maka ketidaksucian itu akan hilang dan kesadaran rohani itu akan bersinar cemerlang sehingga mampu untuk ber-wiweka.SWAMI SIWANANDA dalam bukunya ''All About Hinduism'' membedakan antara konsentrasi dan meditasi. Dalam ajaran Yoga Sutra yang disusun dari Veda oleh Resi Patanjali adalah delapan tahapan ajaran Yoga. Tahap yang ketujuh dan kedelapan disebut dengan istilah Dhyaana dan Samaadhi. Dhyaana itu diterjemahkan dengan konsentrasi, sedangkan Samaadhi sebagai tujuan tertinggi dari Yoga diterjemahkan dengan meditasi. Ada juga yang menyatakan meditasi itu adalah awal dari Samaadhi. Samaadhi itu keadaan di mana Atman telah mencapai Brahman. Apa yang sering disebut latihan meditasi yang sangat populer dewasa ini sesungguhnya hal itu sedang latihan konsentrasi. Memang tujuannya untuk mencapai keadaan meditasi. Namun istilah ini tidak perlu dipertengkarkan. Yang penting yang patut dipahami makna apa yang akan didapatkan bagi mereka yang dengan tekun melakukan konsentrasi dan meditasi. Saat melakukan konsentrasi atau Dhyaana ibarat kita baru memulai berlatih nyetir mobil. Awal-awalnya pasti menjadi beban menegangkan. Belajar meditasi ibarat baru belajar mengemudi. Namun, kalau sudah mahir nyetir mobil tidak lagi menjadi beban. Pikiran, perasaan, kaki dan tangan sudah bergerak secara otomatis nyetir mobil tersebut. Demikianlah awal-awalnya melakukan Dhyaana kalau belum mencapai tahapan meditasi akan dirasakan sebagai beban. Dalam Sarasamuscaya 260 dinyatakan Dhyana ikang Siwasmaranam. Artinya, Dhyana itu adalah selalu mengingat nama Tuhan (Siwa). Upaya untuk berkonsentrasi pada nama Tuhan itulah yang tidak mudah dilakukan. Dhyaana itu harus dilakukan secara berdisiplin. Nama atau sebutan Tuhan itu adalah sesuatu yang suci. Mengingat-ingat atau menyebut-nyebut nama suci Tuhan atau mantra-mantra suci Veda hal itu akan dapat menyucikan pikiran seseorang. Atman itu ibarat kaca yang bening. Perilaku yang semata-mata didorong oleh hawa nafsu saja akan mengotori kaca suci Atman itu, sehingga sinar suci Brahman tidak menembus kaca yang kotor itu. Dengan mengingat-ingat nama suci Tuhan atau mantra-mantra suci Veda maka kekotoran kaca Atman itu tahap demi tahap akan makin hilang. Inilah tujuan yoga atau meditasi tersebut. Dengan hilangnya kekotoran yang menempel pada kaca suci Atman itu maka sinar Brahman dapat bertemu dengan sinar suci Atman. Keadaan yang demikian itulah yang disebut dalam kutipan Wrehaspati Tattwa di atas sebagai kesadaran rohani yang terang cemerlang. Dengan demikian pikiran pun akan mampu ber-wiweka. Artinya mampu membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Mana yang benar dan mana yang tidak benar. Mana yang patut dilakukan dan mana yang tidak patut dilakukan. Pikiran yang cemerlang itu tentunya tidak dapat dicapai hanya dengan mengingat-ingat nama suci Tuhan atau mantra-mantra suci Veda. Karena enam tahapan yoga sebelum mencapai Dhyaana dan Samaadhi harus dilakukan. Enam tahapan itu adalah Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyaahaara dan Dhaarana. Hakikat dari enam tahapan yoga sebelum mencapai Dhyaana dan Samaadhi ini adalah membangun perilaku yang mulia dalam kehidupan bermasyarakat (Yama dan Niyama). Sedangkan keempat tahapan yoga berikutnya untuk membangun fisik yang kuat dan sehat serta membangun proses pikiran yang nalar sehingga tidak diperalat oleh ikatan hawa nafsu (Pratyaahaara dan Dhaarana). Jadinya hakikat meditasi itu adalah suatu sikap hidup yang memiliki wiweka, sehingga selalu dengan cerdas dapat membeda-bedakan mana yang patut dilakukan dan mana yang patut dihindari. Dengan kuatnya wiweka itu maka sehari-hari pun orang akan hidup dengan penuh konsentrasi. Kalau saat nyopir di jalan akan terkonsentrasi pada pekerjaan tersebut. Kalau saat bekerja di kantor atau di mana saja maka segalanya terkonsentrasi pada pekerjaan tersebut. Hal-hal di luar itu tidak mudah masuk dalam pikiran. Kalau bekerja dengan konsentrasi penuh, maka kualitas kerja pun akan maksimal. Demikian juga dalam melakukan hal yang lain akan selalu dengan konsentrasi prima. Kalau hidup dengan konsentrasi prima atau dalam keadaan meditasi maka rasa sehat dan segar akan selalu dirasakan. Kerja dengan konsentrasi yang prima itu akan mampu bekerja secara lebih profesional. Kerja yang profesional itu akan mendapatkan hasil yang lebih berkualitas. Rasa bahagia pun akan dijumpai kalau kerja itu berhasil dengan baik. Makna meditasi itu bukan hanya mengejar makna niskala seperti mencapai sorga atau moksha. Tetapi, sebelumnya ia harus dapat memberikan makna sekala dalam kehidupan sehari-hari. Karena dalam kesehariannya orang yang tekun melakukan meditasi dengan baik ia akan hidup lebih sehat dan tenang. * I Ketut Gobyah sumber: BaliPost